Kelangsunganhidup's Blog

Mata ini indah melihatmu

Rasa ini rasakan cintamu

Jiwa ini getarkan jiwamu

Jantung ini detakkan jantungmu

Dan biarkan aku padamu menyimpan sejuta harapan aku padamu

Rasa ini tulus padamu

Takkan berhenti sampai nanti ku mati

Biarkan aku jatuh cinta

Pesona ku pada pandangan saat kita jumpa

Biarkan aku ‘kan mencoba

Tak perduli kau berkata ‘tuk mau atau tidak

Mata ini indah melihatmu

Rasa ini rasakan cintamu

Jiwa ini getarkan jiwamu

Jantung ini detakkan jantungmu

Mata ini indah melihatmu

Rasa ini rasakan cintamu

Terduga sekecil kelumit doang dengan sunyi dan sepi berantaian dalam hidup, saat muncul ruang untuk berkongsi waktu dengan ramei nya manusia sekeliling acap buat aku seakan terpedaya dengan peluang dan akhirnya cuma menjadi peluang menjadi permainan demi kepentingan masing-masing naluri bernama insan di dunia yang semakin kencang bertali arus memburu kehendak dan bahagia sendiri-sendiri.

Padahal, kalau aku sendiri usai pertemuan yang kosong itu sepertinya baru dibangunkan dari mimpi. Yang kalau itu semua hanya pada saat ini, aku ini lagikan sebagai pengacara, makanya terwujud keinginan mendampingi. Sedikitpun aku tidak membutuhkan apa-apa hubungan hanya kerna apa ada aku. Aku mahu lari. Aku lebih rela kalau sendiri doang. Ngak mahu terus dibutakan dengan hubungan munafik yang tidak ada kejujuran. Apa aku sudah lupa pesan Imam Shafiee. Sudah puas beliau berlari dan mencari langsung tidak terupaya menemui sahabat sejati sama basah dalam air mata dan bersyukur saat senang lagi.

Biar aku punya kasih sayang-Mu, kerna Ya Rabbi ndak pernah mungkir dengan janji-Nya. Ngak mahu bergantungan dan mengharap yang namanya manusia, kerna pada mereka ketulusan itu ngak pernah ada. Tidak terwujud!

Melewati renyai saat mentari membenamkan diri, pada saat badan sudah bertatih menangguh lelah hati tetap girang berlaku.

Soalnya, saat hati belajar dan berusaha mendidik menerima hidup dan dugaan Ya Rabbi apa adanya. Masih mampu menyanyi hati girang walau perut acap sudah memanggil-manggil diisi dan hakikat hidup seakan nada irama desir ombak tenang, beralun pada nada yang sama.

Pada langkah terhenti demi dugaan terwujud atas nama dan kehendak Tuhan, aku terpempan saat ditegur ikhlas satu ciptaan-Mu. Sungguh indah ciptaan-Nya sehingga tutur bicara manusia Adam, seolah cuma desir angin berlalu. Terpempan aku. Maha suci Tuhan, masih ampuh hati dan naluri perempuan ini. Padahal puas aku menutupi demi menyelimuti diri dari takut terjatuh atau tersilap tafsir senyum ramai membiak bercambah menjadi harapan!

Terpempan sekilas terpandang. Indah ciptaan Tuhan. Walau luaran hanya terpandang dan budi yang di dalam ndak bisa terbaca apa yang ditutur dan dimadah adalah cerminan putih bersih hati atau tenangnya air sedang di dalam penuh rahsia.

Bertentang dua pasang mata punya dua individu asing pada saat renyai masih bersisa, rahmat Tuhan. Seolah satu cahaya penerang kelam berbalam. Terima Kasih Tuhan. Mengenali diri buat aku lebih mengenali-Mu. Tersentuh naluri normal manusia bernama perempuan, seolah sedar mata hati mencari belahannya. Walau belum bertemu, belahan hati masih mencari cuba mencari jawapan Maha Besar dan Maha Agung ciptaan rahsia ketentuan-Mu.

Demi pertemuan layak batas asa aku kemudi jauh bertentang, asal nanti ketemu doang belahan hati tampak jelas bahagia dan cantik takdir-Mu buat aku. Wahai diri, jangan pernah sangsi, Maha Pemilik segenap yang indah, percayalah! 

Belahan jiwa namanya wanita. Sejujur tulus polosnya hati ini, saat aku sendiri hampir kalah dengan bertubi datangnya dugaan hidup selayak aku bergelar hamba, aku mencari-cari akal demi mahu semula kemudi hidup ini pada pelayaran agar tidak karam dalam perasaan diri yang terkadang seolah mudah mahu menyerah, padahal nikmat Tuhan ada. Sering melihat kepada yang kurang, apa yang ada seolah hilang nilainya. Saat itu semerbak segar mawar asli bisa buat aku hidupkan semangat aku berjulang tinggi.

AKU MAHU PUNYA MAWAR SELURUH RUANG MATA MEMANDANG!

Setiap aku pulang demi rindu tidak tertuai buat ayahbonda, yang menjadi rutin terhidang menyambut kepulanganku, tebak coba?

SAMBAL TUMIS TELUR!

Nah, emangnya kesukaanku cuma SAMBAL TUMIS TELUR!  Ringkas. Ujar bunda, sedari aku kecil sampai udah gedek begini, sememangnya telur lah kegemaranku. Bayangkan seusia 2 tahun aku bisa habiskan 2 biji telur rebus.

Demi tubuh yang sihat, seingat aku waktu persekolahan, sarapan wajib aku tersedia bunda adalah telur rebus separuh masak dihidang bersama madu lebah asli hasil tuaian nenek. Waduh, lazat amat. Mengingati aja bisa buat aku kelaparan. Mana manis dan segarnya madu dengan enak harum bau telur separuh masak. Terima kasih bunda. Kerna itu, aku masih hidup sampai hari ini. Jelaslah itu semua usaha, dengan izin Allah, pastinya!

Sampai aku gedik, nah yang di pinggan merah adalah benaran dari tempat aku sering sarapan sebelum bermula hari-hari aku menjalani tugasku di suatu tempat menjadi ingatan dan kecintaan, sampai akhir nyawa. Mengingat rasanya yang dibakar bersama arang, aduh, seakan ingin terbang sekarang demi sarapan seistimewa begini bersama kopi pekat segar. Tuntas!

Berlalu perjalanan hidup mengejar cita-citaku, yang di pinggan hijau adalah hidangan paling mudah, betul-betul bersebelahan tempat aku mencari rezeki. Kedengaran lucu, tapi itulah makan tengahari aku. Demi apa adanya, aku seringkali cuma bersama roti bakar, masih harum aroma arang, telur separuh masak dan kopi o dingin, apa lagi mahuku!

Istimewa hidup bukan pada paling tinggi nilai harga duniawi. Sempurna hidup saat apa dimiliki dihargai setinggi mungkin. Sungguh bermakna telur dalam hidup aku, biar aku meledani dan menghargai! Aku bahagia kalau dapat kembali sebentar doang menikmati semua hidangan telur kesukaan aku lagi. Insya Allah, sampai nyawa masih diizinkan Ya Rabbi dinikmati.

Terlahir polos dan luhur di dunia penuh dugaan dan pancaroba.  Terjadinya polos itu sejuk pandangan mata dan selurus tingginya hijaunya buluh berdiri.

Pun bukan sedikit dugaan menjadi sucinya hati polosnya diri. Saat digunakan makhluk Tuhan sekeliling. Saat terkeliru menerima tangan menggenggam kerana tergambar ikhlas padahal penuh dengan acara-acara kepentingan diri sendiri manusiawi dan duniawi.

Sejauh mana pun perjalanan, semakin mencari ketentuan. Selama di hati ada Tuhan dan selalu berserah kepada Tuhan, seluhur manapun diri, dengan perkenan-Nya semoga diri terdidik dan terlindungi demi perjalananan mencari Tuhan.

Selama azimat ayahda bahawa dugaan hidup dan kezaliman dunia ini mana mungkin ada titiknya. Semoga diri dilindungi Tuhan berkat doang mustajab doa dan kabulin permintaan ayahda bunda demi telah terbuainya pengalaman semahal emas tunjangan dan kasih sayang tulus.

Dan kepolosan ini biar terus dilindungi Tuhan.

Buah ini menjadi sebahagian hidupku. Tinggal bersama datuk dan nenek dengan berekar kebun pisang, tiada yang menjadi istimewa. Hakikatnya tetap menjadi bahan melarikan diri, sebab saat pisang sibuk membuahkan diri-diri mereka, saat tidak terjual pisang-pisang di kebun, maka segala dari hasil pisang menjadi santapan keluarga.

Mendengar seolah lucu. Bermula dengan sarapan, menu pisang mampu berganti pilihan. Coba apa aja. Cekodok aka Jemput-Jemput pisang, Tempek pisang aka lempeng pisang, Lepat Pisang, Apom Pisang, Pisang Rebus atau Pisang Goreng. Itu belum bercampur menu makan tengahari. Gulai Pisang sering menjadi santapan. Aduh. Saat itu, aku seringkali protes kepada emak. Mana ngak. Pernah nakal menutur kepada nenek. “Bukan apa, takut nanti saat di jamban nanti, yang keluarnya juga pisang”. Cerita selepas itu biar aku simpan sendiri. Nenek bukan seorang menerima lelucon dengan mudah, hatta yang menutur adalah cucu sendiri.

Belum cerita nenek menyalai pisang-pisang tidak terjual. Edisi membuat kerepek dan akulah menjadi “orang tengah” menjual di sekolah dengan “komisyen” 10 sen untuk sepuluh peket terjual! Aduh nenek. Sampai satu saat, aku mem”boikot” pisang. Langsung aku tidak makan apa-apa hasil pisang.

Sungguh begitu, yang tetap menjadi kegemaran, kerabu jantung pisang. Lagi-lagi dimasak dengan kerang rebus. Waduh, bias bikin tak keruan!

Lewat perjalanan usia Nasi Daun Pisang menjadi kegemaran. Masih merindui enaknya Nasi Daun Pisang di daerah menjadi tempat aku berjuang demi nama mencari rezeki dan sebagian perjalanan hidup ini.

Sungguh buah ini ada perannya dalam hidup ini. Tetap terkenang segalanya. Demi sejarah bukan sekadar lipatan, pantun klasik ini menutupi pengalaman demi kelangsungan hidup diteruskan,

“ PISANG EMAS DIBAWA BELAYAR

 MASAK SEBIJI DI ATAS PETI

HUTANG EMAS BOLEH DIBAYAR

HUTANG BUDI DIBAWA MATI “

Pernah sekali tersenyum melihat gelang emas rekaan sebuah butik kelihatan mirip banget dengan permainan aku sewaktu kecil dari getah hujung hijaunya daun pohon pisang. Dalam senyum sendiri, wah kaget jugak mampu bikin hiasan diri sewaktu kecil sangat aku berkira-kira mencari apa perlu demi membuang waktu berlalu namanya kanak-kanak.

Sungguh benar, dunia ini realiti. Dan bijak pandai melayu menutur wadah laksana terpakai sehingga dunia ini sendiri menutup mata,

” PUAS SUDAH MENANAM PADI, NENAS JUGA DIPANDANG ORANG

PUAS SUDAH MENANAM BUDI, EMAS JUGAK DIPANDANG ORANG”

Asal namanya perempuan, naluri tercipta ingin dilindungi dan disayangi oleh bagian punya rusuk kiri tercipta. Diciptakan Tuhan wanita dari rusuk kiri, dekat dengan hati untuk dilindungi dan dicintai. Ketahuan mata memandang, terkalung gelaran andalusia, sememangnya dugaan Tuhan. Wajar coba diredhai dan ternyata bukan mudah, juga bukan alasan untuk menyalahi takdir atau persoalkan apapun sudah tersurat menjadi bagian perjalanan hidup ini.

Menjalani hidup seharian, terjalankan hidup dalam ruang aku mampu doang. Soal sepi dan sunyi seperti teman yang sudah sebati. Menjadi bayang-bayang intim sok tidak mungkin terpisah lagi. Belum apa-apa. Tetap menjalani dan menghidupkan jiwa asal tidak langsung terdera oleh diri. Tidak mahu membenarkan perasaan diuji ini menjadi raja memandu hidup. Tidak mahu! Percuma diciptakan Tuhan punya akal, sok diberi ujian sebegini sudah jadi bengong!

Perjalanan semalam, melihat takdir manusia diberi Tuhan rezeki murah. Disayangi dan dikelilingi limpahan kasih sayang. Pingin dan termimpi untuk punyai sedikit ruang bahagia itu. Begini tetap menjadi teruji. Teruji untuk tidak rebah lagi. Terdorong untuk lanjutkan doa dan istighfar. Ya Tuhan, jangan benarkan putus harap pernah datang lagi dalam hidup ini. Ya Tuhan, aku mohon. Aku mohon dan selalu meminta menadah tanganku, kalau sampai terhenti nafas ini yang Engkau Pemiliknya, biar aku hidup dengan redha dan kalau batas asaku tetap menjauh dari hidupku. Biar hidup ini terus aku serahkan, kesemuanya kepada-Mu.

Ternyata perasaan mencintai dan dicintai itu seperti apa ya! Surga barangkali. Sudah acap mencintai tetapi tidak dicintai. Dulu pernah air mata menjadi nafas setiap terluka dinafikan rasa, dan ditolak jauh dari kehidupan yang dicintai. Ternyata, semua yang bernafas punya pilihan menerima apa jua rasa mendatang. Penuh sadar, tidak pernah aku mahu memaksa cinta siapapun. Dilonjak pergi, kelukaan dan kepedihan tidak mahu aku membohongi. Tegar sekali kalau aku menafikan kalau aku pedih. Juga bohong amat kalau diri berani rasa harga diri tidak diinjak. Seperti rasa diri terlalu kerdil dan hina sehingga disayangi juga tidak layak!

Ya jelaslah kalau balik lagi kepada Maha Pencipta, diri mampu melihat warna pelangi sekalipun barangkali tidak sama cerahnya. Menunduk dan menyembah hanya Tuhan. Mana ada ciptaanNya lebih mulia dari yang lain, kecuali darjat iman berbeda.

Aku terus menjalani hidup dengan mahu iman. Mahu terus berharap kepada Tuhan. Mahu terus bersangka baik dengan Tuhan. Apapun nilai dunia, jangan Tuhan benarkan aku zalimi diri kerana dugaan-Mu.

Dalam nada doaku ini, panjatkan limpah rahmat-Mu. Semoga dugaan-Mu hanya semampu aku. Kelemahan hamba-Mu dan apa kebutuhan diri, tiada yang lebih mengenali dan mengetahui, walau aku diri sendiri kecuali Engkau ya Tuhan!

Senyum lebar semua saat ijazah digenggan. Saat itu yang terbayang adalah impian hidup bisa direalitas. Punya mimpi besar mahu bahagiankan kedua ayah bunda. Buat mencari apa aja mahu mereka. Buat memenuhi angan-angan mahu punya semua yang menjadi ingin saat dulu cuma bergelar belajar. Sudah puas menyimpan kosong perut demi namanya cita-cita.

Sungguh dunia namanya dunia. Beza sungguh dengan akhirat. Zaman ini apa ertinya segulung ijazah. Cemerlang apa gunanya, kalau tidak ada di mana-mana namanya saudara mara sudi membantu. Apa lagi saat ruang ikhlas sudah hilang. Soalnya kalau percuma tanpa apa-apa ganjaran ditimbalkan, siapakah yang sudi.

 Melihat adikku semakin hilang semangat demi susahnya mencari kerja, aku jadi sedih. Walau aku sering titipkan kata semangat. Padahal, aku sendiri bukanlah sesempurna mana pekerjaanku. Demi tidak mahu ayah bunda putus harap setelah bertahun berkorban demi menyara anak-anak belajar, sehingga sering kebutuhan mereka dibelakangi. Justeru, selagi aku mampu, aku kepingin mereka bahagia. Biar adik-adik punya kerja. Soalnya, biar ayah bunda rasa puas dengan pengorbanan mereka.

 Kepada Tuhan Maha Esa, tempat nyawa aku tersimpan, selalu aku mohon. Janganlah sekali-kali aku ini menjadi putus asa. Aku selalu berdoa agar rezeki adik-adik dimurahkan. Semoga pinta rezeki aku dan adik-adik terbuka luas.

 Aku bersangka baik dengan Tuhan. Aku percaya sampai saat nanti, Insya Allah semua akan diberi rezeki yang murah, dan pastinya, Insya Allah, dirahmati.

 Buat adik-adik tersayang, aku selalu doakan kalian. Setiap aku menadah tangan kepada Tuhan, tidak pernah aku lupa doakan kebahagian kalian.

 Ayuh kita berpegang tangan. Biar terus yakin dengan iman kepada Tuhan. Biar kita terus dan terus berharap. Aku ingin kita semua bahagia dan berjaya. Dunia dan Akhirat. Sungguh aku sayang bangat sama kalian.

Masih bertatih dan mencari pengertian hidup!